Rabu, 07 Desember 2011

Freeport: 3% Bukan Angka Kecil

JAKARTA - PT Freeport Indonesia menyanggupi pemberian paket kompensasi hingga 25 persen untuk para karyawannya. Kompensasi ini di luar komponen gaji pokok, dan disesuaikan dengan tingkat kompetensi karyawan.

Juru bicara Freeport Indonesia, Ramdani Sirait menjelaskan, paket kompensasi ini merupakan wujud itikad baik perusahaan terhadap tuntutan karyawan. Sebelumnya, dalam mediasi antara karyawan dengan manajemen disebutkan bahwa manajemen siap memberi paket kompensasi 22 persen. Namun, karyawan menuntut 25 persen.

"Sebenarnya, bagi perusahaan, tiga persen bukanlah angka kecil, karena akan mempengaruhi kinerja perusahaan terhadap sekira 9.000 karyawan. Meski begitu, perusahaan menerima anjuran dalam mediasi tersebut dan menyediakan paket kompensasi dengan kenaikan 25 persen," kata Ramdani kepada wartawan di kantor Freeport, Kuningan, Jakarta, Rabu (12/10/2011).

Ramdani memaparkan, paket kompensasi tersebut diberikan di luar gaji pokok bulanan bagi karyawan non staf PTFI. Komponen yang termasuk dalam paket kompensasi adalah upah lembur sesuai jadwal kerja, bonus normal dan khusus, manfaat dana pensiun, pinjaman perumahan, bonus kerja gilir, dan bantuan pendidikan untuk anak karyawan tanggungan langsung karyawan.

"Semua komponen tersebut adalah bagian penting dari keseluruhan paket kompensasi. Jika digabungkan dengan upah pokok, tiap karyawan akan mendapatkan total kompensasi 30-40 kali upah pokok bulanan untuk rata-rata karyawan dengan kompetensi dasar," imbuh Ramdani.

Paket kompensasi ini ditawarkan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) ke-17 untuk periode PKB mendatang, yakni periode Oktober 2011-Oktober 2013.

Pria berkacamata ini mengilustrasikan, saat ini gaji seorang karyawan nonstaf di divisi operasi dengan kompetensi dasar sekira Rp170 juta per tahun, dan gaji karyawan nonstaf dengan kompetensi master Rp235 juta.

"Dengan paket kompensasi yang ditawarkan Freeport, maka gaji seorang karyawan nonstaf di divisi operasi dengan kompetensi dasar menjadi sekira Rp210 juta di tahun pertama, dan sekira Rp230 juta di tahun kedua. Sementara, gaji karyawan non staf dengan kompetensi master menjadi Rp285 juta di tahun pertama, dan Rp310 juta di tahun kedua," papar Ramdani. (wdi)

Rabu, 19 Oktober 2011

Bagaimanakah Tren Kompensasi dan Benefit 2009 ?

Kompensasi merupakan salah satu faktor penting bagi kelangsungan kerja karyawan di perusahaan yang pengaruhnya pada kepuasan kerja, loyalitas ataupun aspek kerja lainnya. Nah dalam masa krisis keuangan ini, bagaimanakah perusahaan menerapkan kebijakan kompensasinya agar aktivitas perusahaan terus berlangsung dan karyawanpun tidak menganggur.
Sudah menjadi wacana umum bahwa kompensasi dan benefit merupakan alat untuk mendapatkan dan mempertahankan karyawan terbaik di perusahaan. Meskipun ada faktor lain yang menjadi pertimbangan karyawan untuk loyal di suatu tempat, tidak dipungkiri bahwa kompensasi yang menarik merupakan salah satu alasan bagi karyawan untuk bertahan. Hasil survei WorkAsia 2007/2008 yang sempat dirilis konsultan sumber daya manusia (SDM), Watson Wyatt, menyimpulkan, pendorong utama keterikatan karyawan di perusahaan adalah fokus kepada pelanggan, kompensasi dan benefit, serta komunikasi.

Bagaimana tren kompensasi dan benefit di 2009? Di tengah kondisi ekonomi yang sedang mengalami stagflasi, Managing Consultant Watson Wyatt yaitu Lilis Halim mengungkapkan, tren kompensasi tahun ini relatif stabil. Artinya, tetap mengikuti perkembangan inflasi di Indonesia, meski ada kecenderungan di perusahaan untuk menekan kenaikan gaji. Akan tetapi, lanjutnya, perusahaan lebih agresif dalam memberikan variable pay, seperti bonus atau insentif.

Lilis menjelaskan, saat ini perusahaan lebih mengutamakan key talent (karyawan kunci) dalam sistem kompensasi. Hal ini karena krisis ekonomi tidak hanya berdampak pada penurunan bisnis (slow down in business), tetapi juga mengakibatkan peningkatan biaya operasional dan tenaga kerja. Untuk itu diperlukan strategi dalam sistem kompensasi yang dapat mengatasi ketidakcukupan talent (insufficient supply of talent) di pasar yang bisa menyebabkan penurunan kinerja perusahaan.

Sehubungan dengan itu Lilis menyarankan agar perusahaan dan karyawan sama-sama siap dalam menyikapi tren kompensasi yang berbasis kinerja. “Perusahaan harus siap dengan sistem manajemen berbasis kinerja yang berhubungan langsung dengan skema reward atau kompensasi,” ujarnya. Demikian pula karyawan, Lilis menambahkan, harus siap menghadapi perubahan budaya berdasarkan kinerja, sehingga diharapkan keduanya dapat meningkatkan kinerja perusahaan. “Komunikasi yang teratur dan terbuka antara perusahaan dan karyawan mengenai sistem kompensasi dan benefit juga diperlukan untuk menghindari terjadinya demotivasi,” tuturnya.

Menurutnya, strategi kompensasi dan benefit di banyak perusahaan di Indonesia masih mengutamakan untuk menarik (attracting) dan mempertahankan (retaining) karyawan. Tentunya ini dilihat berdasarkan ukuran kinerja karyawan yang bagus (high performing) dan berpotensi tinggi (high potential).

Apalagi pertumbuhan ekonomi saat ini sedang sulit sebagai dampak dari krisis ekonomi global, menyebabkan perusahaan harus memikirkan cara untuk menekan biaya, namun tetap bisa meningkatkan kinerja perusahaan. Untuk itu, Lilis menegaskan, yang kini menjadi perhatian utama perusahaan adalah karyawan-karyawan berprestasi dan berpotensi bagus (high performance and high potential employees). Faktor-faktor inilah yang menyebabkan tren kompensasi dan benefit bergerak ke arah berbasis kinerja (performance-based).

“Kompensasi dan benefit dapat memotivasi karyawan dan meningkatkan produktivitas kerja,” ujarnya mengakui. Lilis berani memastikan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara tingkat kompensasi di Indonesia dengan negara-negara Asia lainnya. Diungkapkannya, hampir semua negara di Asia Pasifik menurunkan budget salary increase di tahun ini sebagai akibat krisis ekonomi global. “Kompensasi berbasis kinerja kini menjadi tren di negara-negara Asia Pasifik,” katanya memastikan.

Menurut Lilis, tren kompensasi makin bergeser kepada sistem bonus atau insentif (variable pay) sehingga bisa menekan biaya kompensasi yang bersifat tetap (fixed cost). Sistem bonus atau insentif yang berdasarkan kinerja karyawan pun bersifat self funding. Maksudnya, besaran bonus atau insentif disesuaikan atau tergantung dengan besarnya pencapaian kinerja perusahaan. Sistem seperti ini diharapkan dapat memacu semangat karyawan untuk lebih meningkatkan kinerjanya.

Sementara itu, untuk tren benefit, Lilis mengungkapkan, pemberian tunjangan relatif tidak ada peningkatan yang signifikan karena perusahaan membatasi biaya pengeluaran. Menurutnya, sebagian perusahaan sudah memikirkan untuk memberikan benefit yang dihitung berdasarkan kinerja. Misalnya, memberikan kredit dengan tingkat bunga (interest rate) yang lebih rendah kepada karyawan yang berprestasi. Lagi-lagi, ia menegaskan, hal ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan kinerja karyawan.

Human Resources Director Sinarmas Agribusiness and Food Michael Adryanto mengakui, pemberian kompensasi (bonus) dapat mendongkrak motivasi kerja karyawan, sehingga kinerja perusahaan pun meningkat. “Untuk pemberian bonus, kami menggunakan sistem manajemen kinerja (performance management), di mana unit kerja maupun karyawan memiliki target yang disusun di awal periode penilaian, dan hasilnya dikaji secara formal di pertengahan dan di akhir periode,” tuturnya menjelaskan.

Senada dengan Michael, Manajer Kompensasi dan Benefit PT Danone Indonesia Joko Purwanto mengungkapkan, dalam menentukan kenaikan gaji karyawan perlu mempertimbangkan penilaian prestasi (performance appraisal), selain melihat faktor kenaikan upah minimum provinsi (UMP), kenaikan biaya hidup, dan kemampuan perusahaan (affordability). “Yang membedakan kenaikan gaji antara karyawan satu dengan lainnya adalah hasil penilaian kerja yang bersangkutan. Karyawan dengan performance result excellent tentu berbeda kenaikan gajinya dengan karyawan yang average,” katanya menandaskan.

Lilis mengatakan, perusahaan tidak akan segan memberi kenaikan gaji yang cukup tinggi untuk SDM di posisi kunci (key positions). “Posisi kunci sangat terbatas suplainya di pasar, sehingga terjadi persaingan antarperusahaan untuk mendapatkan SDM tersebut,” katanya. “Misalnya, posisi dealer di divisi treasury bank, relationship manager, engineer seperti drilling, resevoir, atau geologist/geoscientist di sektor minyak, serta bagian penjualan dan pemasaran di sektor-sektor tertentu,” ungkap Lilis menyebut beberapa posisi kunci yang saat ini sangat dibutuhkan.

Diakui Lilis, beberapa perusahaan menurunkan bujet kenaikan gaji di 2009. Namun demikian, lanjutnya, beberapa posisi penting, juga karyawan yang memiliki prestasi atau potensi tinggi tetap bisa menikmati kenaikan gaji cukup tinggi.

Untuk itu, menurutnya, penting bagi perusahaan untuk merumuskan skala upah sebagai parameter dalam pendistribusian gaji kepada karyawan sesuai level atau tingkatannya. Skala upah juga bisa digunakan sebagai pedoman untuk menentukan besarnya gaji pada saat merekrut karyawan baru, promosi, maupun kenaikan gaji berdasarkan penilaian kinerja (performance based increases).

Lilis menyebutkan, setidaknya ada dua faktor yang biasanya menjadi pertimbangan perusahaan dalam menentukan skala upah, yaitu faktor internal (level/tingkat atau grading dari posisi-posisi yang ada di perusahaan) dan faktor eksternal (data pasar untuk menentukan gaji yang kompetitif). Pada umumnya, skala upah disesuaikan atau di-review tiap dua atau tiga tahun sekali berdasarkan pergerakan biaya hidup (Cost of Living) dan pergerakan upah di pasar.

Manajemen Freeport Tawarkan Kompensasi Terkait Perselisihan PKB

Jakarta (ANTARA) - Manajemen Freeport menawarkan kompensasi bagi karyawan nonstaf untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan terkait Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang hingga saat ini masih dipersoalkan antara manajemen dan serikat pekerja.
Rilis PT Freeport Indonesia diterima di Jakarta, Selasa, menyebutkan, selama berjalannya perundingan PKB, manajemen Freeport telah menawarkan paket kompensasi sangat menarik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan karyawan Freeport untuk periode PKB mendatang (Oktober 2011 - Oktober 2013).
Menurut rilis itu, paket kompensasi tersebut merupakan salah satu yang terbaik pernah ditawarkan kepada karyawan dengan tingkat kompetensi yang sama di Indonesia.
Dalam rilis juga disebutkan, upah pokok bulanan hanyalah salah satu komponen dari keseluruhan paket kompensasi bagi karyawan nonstaf.
Sedangkan di luar upah pokok bulanan, karyawan nonstaf juga mendapatkan pembayaran tinggi melalui upah lembur sesuai jadwal kerja, bonus normal dan khusus yang sangat bermanfaat disaat harga tembaga tinggi sebagaimana tren kondisi pasar komoditas akhir-akhir ini.
Semua komponen pembayaran tersebut adalah bagian penting dari keseluruhan paket kompensasi dan bilamana digabungkan dengan upah pokok akan menghasilkan total kompensasi yang dapat mencapai 30 - 40 kali upah pokok bulanan untuk rata-rata karyawan dengan kompetensi dasar.
Sebagai ilustrasi, dengan tambahan berbagai komponen lainnya, maka karyawan nonstaf di divisi operasi dengan kompetensi dasar ("basic competency") dapat menerima pendapatan sekitar Rp170 juta per tahun.
Sementara karyawan nonstaf dengan tingkat kompetensi "Master" dapat memperoleh pendapatan sebesar Rp235 juta per tahun (jumlah itu diklaim akan lebih tinggi untuk karyawan di tambang bawah tanah).
Sebagaimana disebutkan dalam rilis, maka penerimaan pendapatan untuk setiap individu karyawan dapat bervariasi bergantung kepada jumlah jam lembur, tingkat kompetensi, lokasi kerja karyawan, serta harga komoditas tembaga dan emas di pasaran dunia.
Selain itu, total persentase kenaikan dari total pendapatan juga dinilai bisa mencapai hingga 21 persen atau lebih pada tahun pertama bila dibandingkan dengan pendapatan yang diterima dari paket kompensasi PKB sebelumnya.

KASUS KOMPENSASI

Bertarung Memberi Kompensasi Terbaik

Pertambangan — termasuk di dalamnya minyak dan gas — adalah sektor yang tergolong panas. Maklum, industri ini memiliki entry barrier dan exit barrier yang tinggi. Tak mengherankan, tenaga kerjanya pun bukan orang sembarangan. Karena jumlahnya terbatas, aksi bajak-membajak pun menjadi lazim. Seperti diungkap Syamsurizal Munaf, Direktur Business Share Service PT Medco E&P Indonesia (MEI) mengenai SDM, “Kalau kami tidak me-manage-nya secara baik-baik, bisa terjadi perang-perangan di antara sesama (pemain industri pertambangan).”
Yang dimaksud dengan pengelolaan yang baik di sini adalah pemberian kompensasi — gaji plus tunjangan dan fasilitas — yang tinggi kepada karyawan. Tekanan dan tuntutan pasar yang tinggi ini membuat perbedaan gaji di antara perusahaan sejenis tidak terpaut terlalu jauh. Setidaknya hal ini tercermin dari sistem penggajian yang dilakukan MEI, PT Aneka Tambang (Antam) dan PT Bumi Resources (BR).
Ketiga perusahaan ini sama-sama memberi 14 kali gaji kepada karyawannya. Bedanya, pada isi yang diberikan. Syamsurizal memerinci, 14 gaji itu terdiri dari 12 gaji bulanan, tunjangan hari raya dan uang cuti. Adapun Syahrir Ika, Direktur Umum dan SDM Antam mengungkapkan, 14 kali gaji tersebut terdiri dari 12 kali gaji bulanan, THR dan tunjangan perangsang produksi.
Besaran gaji di ketiga perusahaan itu terpaut tipis. Di Antam, level staf bawah (golongan 5-9, pendidikan SMP dan SMU), besaran gajinya Rp 2,5-5 juta/bulan (take home pay). Untuk karyawan entry level (lulusan baru), gajinya Rp 4-5 juta/bulan (take home pay).
Bagaimana dengan MEI? Menurut Syamsurizal, level staf (golongan 6, pendidikan diploma) gaji pokoknya Rp 2,5-3,5 juta/bulan. Lulusan baru (golongan 7), Rp 3,5-4,5 juta. Adapun level asisten hingga senior manajer (golongan 8-15), Rp 30-40-an juta.
Syahrir mengungkapkan, model penggajian di Antam sebenarnya mengikuti model pegawai negeri sipil, seperti adanya istilah pensiun. Namun dalam implementasi dan besarannya, Antam memiliki cara dan sistem sendiri, yang merujuk pada dua acuan: benchmarking (ke perusahaan lain) dan kemampuan internal perusahaan. “Dibanding perusahaan pertambangan lain, sebenarnya untuk besaran gaji, kami yang terbaik,” Syahrir mengklaim.
Yang jelas, dengan rencana lebih merangsang produktivitas karyawan, mulai tahun ini manajemen Antam akan memberi gaji dan tunjangan yang berbasis kinerja, baik unit bisnis maupun perorangan, yang disebut Sistem Manajemen Unit Kerja. “Nantinya besaran gaji karyawan akan ditentukan performance masing-masing,” ujar Syahrir.
Perbedaan juga terlihat dalam hal tunjangan dan bonus. Di MEI, dikenal bonus tahunan. Di Antam, ada tunjangan kinerja tahunan (TKT). Besarannya sangat tergantung pada produksi perusahaan per tahun. Misalnya pada 2005, semua karyawan MEI mendapat bonus tahunan 2,5 kali gaji, yang tak diberikan secara langsung, tapi dua kali. Tujuannya, mengatur arus kas perusahaan dan kebutuhan karyawan.
Di Antam, TKT yang diberikan pada 2005 tergolong tinggi, 5-7 kali gaji. Yang jelas, setiap tahun kenaikan gaji sebesar 5%. Bandingkan dengan MEI dan BR yang memberikan kenaikan gaji 6%-10% per tahun. Pada 2005, Antam melakukan revisi: kenaikan gaji sebesar 40%-50%. Alasannya, sejak 2000, gaji karyawan tidak naik. Sekadar diketahui, perbandingan fixed salary dan variable salary di Antam adalah 75%: 25%.
Bicara tentang tunjangan, MEI memiliki variabel yang lebih beragam. Perusahaan milik Arifin Panigoro ini memberikan mulai dari tunjangan kesehatan, rest & recreational, sampai penghargaan atas pengabdian yang biasanya diberikan pada akhir masa kerja karyawan, yang besarnya 30 kali gaji pokok. Tak hanya itu, untuk momen-momen tertentu yang bersifat accidental, manajemen MEI masih memberi tunjangan tambahan. Sebagai contoh, pada saat kenaikan harga BBM lalu, level staf yang gajinya di bawah Rp 7 juta, diberi tunjangan satu kali gaji. Untuk level manajer senior dan direksi, fasilitas yang diberikan lebih beragam, antara lain tunjangan kepemilikan mobil, telepon hingga uang klub sosial.
Di luar tunjangan di atas, karyawan MEI juga mendapatkan team reward. Syaratnya: berhasil menyelesaikan pekerjaan yang menjanjikan, seperti menemukan cadangan minyak baru di suatu tempat. Namun, team reward ini bersifat non-cash. Contohnya, pelesiran ke luar negeri.
Bandingkan dengan BR. Edi Sobari, Direktur Keuangan perusahaan ini mengatakan, Grup BR memiliki beragam tunjangan, seperti kesehatan, pensiun dan kendaraan. Namun, untuk level menengah-atas (mulai supervisor) ada fasilitas tambahan yang mencakup fasilitas rumah, biaya hiburan dan biaya pulang kampung (setahun dua kali) untuk para ekspat. Sebagai catatan, gaji buat ekspat dalam US$.
Soal bonus, Edi berujar, besarannya tak bisa ditentukan karena sangat tergantung pada pencapaian produksi. Yang pasti, bonus ini setara take home pay yang diterima karyawan setiap bulan. Jika hasil produksi bagus, bonus yang diterima bisa 2-3 kalinya.
Lalu, bagaimana gaji direksi? “Sebenarnya, perbedaan gaji antara direksi dan level di bawahnya tidak terlalu jauh, paling separuhnya,” ujar Kurniadi Atmosasmito, Direktur Keuangan Antam. Dijelaskannya, sebagai perusahaan milik publik, gaji para direksi telah ditetapkan dalam RUPS. Varian pendapatannya meliputi gaji, tantiem plus tunjangan. Adapun gaji (take home pay) yang diterima dirut Rp 50-60 juta/bulan. Sebutlah, gaji pokok Dirut Antam, Dedi Aditya Sumanagara, sebesar Rp 47 juta/bulan. Gaji para direktur, 90% dari gaji dirut. Adapun untuk level di bawahnya, dari asisten hingga manajer senior, berkisar Rp 18-21 juta/bulan.
Di BR, Edi menjelaskan, gaji level direksi di atas Rp 100 juta/bulan. Sementara di MEI, menurut Syamsurizal, “Di dalam industri ini ada pakem, selisih gaji antara staf dan direksi harus rasional. Perbedaan besarannya tidak lebih dari 20 kali.”
Pemberian gaji tinggi di sektor pertambangan punya dasar alasan yang relatif sama. Baik MEI, BR maupun Antam mengakui, faktor keterbatasan SDM dan persaingan yang ketat menyebabkan perusahaan membuat skema gaji yang kompetitif. “Tidak boleh terlalu rendah atau sebaliknya. Sebab, ketentuan mengenai besaran gaji ini juga harus disetujui BP Migas,” ujar Syamsurizal.
P.M. Susbondo, Manajer Senior SDM MEI, menambahkan bahwa gaji besar yang diterima karyawan perusahaan pertambangan harus disikapi dengan melihat tujuan pemberian gaji. Yakni, mempertahankan orang-orang yang sanggup memberi kontribusi besar kepada perusahaan.
Senada dengan Syamsurizal dan Susbondo, Kurniadi berpandangan, tingginya gaji karyawan sektor ini karena risiko kerja yang dihadapi lebih berat, tinggal di lokasi terpencil, dan terutama tenaga kerja ahli di bidang ini masih langka. Sementara menurut Edi, gaji tinggi mendatangkan rasa betah.
————————————————————————————————-
Masalah kompensasi selalu mendapat perhatian besar dari setiap karyawan. Hal ini disebabkan karena kompensasi merupakan sumber pendapatan, merupakan penerimaan yang diperoleh karena pendidikan dan keterampilan yang dimilikinya, menunjukkan kontribusi kerja mereka, dan merupakan salah satu elemen kepuasan kerja. Kepuasan terhadap kompensasi yang diterima dari seorang karyawan merupakan elemen utama terciptanya kepuasan kerja karyawan tersebut. Artinya, semakin puas seorang karyawan terhadap kompensasi yang diterimanya, maka akan semakin puas karyawan tersebut terhadap pekerjaannya, begitu pula sebaliknya. Sedangkan elemen utama yang akan mempengaruhi kepuasan karyawan terhadap kompensasi yang diterimanya adalah keadilan yang dirasakannya terhadap kompensasi yang diterimanya tersebut.
Suatu organisasi menarik dan mempertahankan karyawannya hanya dengan satu tujuan yaitu mencapai tujuan organisasi melalui prestasi kerja para karyawan tersebut. Oleh karena itu sistem kompensasi harus didisain untuk menghargai perilaku karyawan yang memberi kontribusi terhadap pencapaian tujuan organisasi. Akan tetapi hal ini sulit dilakukan karena tujuan mereka bukan semata-mata mendapatkan kompensasi yang didasarkan pada prestasi kerja saja. Para karyawan mengharapkan lebih dari sekedar itu yaitu adanya keadilan dan keterbukaan dari metode dan proses implementasi dari sistem kompensasi tersebut.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabila terdapat pendapat bahwa keadilan merupakan jantungnya sistem kompensasi. Untuk mewujudkan eadilan ini maka program kompensasi harus didisain dengan mempertimbangkan baik kontribusi karyawan maupun kebutuhan karyawan. Hal ini bukan berarti bahwa kompensasi yang diberikan oleh suatu perusahaan harus berjumlah banyak (secara nominal). Perusahaan yang memberikan kompensasi secara berlebihan kepada karyawan akan dapat mencelakai diri perusahaan maupun karyawannya. Kompensasi yang berlebihan tersebut akan mengakibatkan menurunnya daya saing perusahaan, kecemburuan antar karyawan maupun ketidaknyamanan dalam diri karyawan itu sendiri.
Saling bersaing memberikan kompensasi juga bukanlah hal yang dilarang. Hal tersebut diperbolehkan asal dengan cara yang benar dan tanpa ada satu pihak yang dicurangi. Kompensasi tentunya juga diberikan pada tenaga kerja yang mempunyai keahlian sehingga membuat perusahaan merasa bangga dan sayang untuk melepasnya. Oleh karena itu banyak perusahaan yang menginginkan tenaga kerja seperti itu.
Berdasarkan teori keadilan, seorang karyawan akan menentukan keadilan dari kompensasi yang diterimanya dengan membandingkan kompensasi yang diterimanya dengan input yang dimilikinya, dimana rasiokompensasi dengan input ini sifatnya relatif untuk setiap karyawan. Jika rasio tersebut dari seorang karyawan dengan karyawan lainnya adalah sama (setara) maka karyawan tersebut merasa mendapat keadilan. Sedangkan jika seorang karyawan merasa bahwa rasio antara kompensasi yang diterimanya dengan input yang dimilikinya tidak sama (setara) dengan ratio antara kompensasi yang diterima dengan input yang dimiliki dari karyawan lainnya, maka karyawan tersebut akan merasakan adanya ketidakadilan.
Jadi persaingan yang harus dilakukan tentunya haruslah persaingan yag sehat.  Kompensasi itu juga sebaiknya dipikirkan mengenai keadilannya pada karyawan-karyawan yang bekerja.